Selasa, 04 Oktober 2016

PENGOLAHAN LIMBAH KELAPA SAWIT





Limbah Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit di Indonesia

Dalam prosesnya, industry kelapa sawit menghasilkan beberapa residu yang dianggap sebagai limbah yang memang berpotensi menjadi beban pencemaran lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Namun, sebenarnya jika diolah secara maksimal dengan menggunakan teknologi yang tepat, limbah-limbah tersebut akan memberikan nilai lebih yang signifikan bagi industry. Contoh konversi biomassa batang kelapa sawit yang masih bisa diambil niranya bisa menghasilkan bioethanol yang bisa digunakan untuk mengganti bahan bakar fosil. Padahal selama ini batang-batang ini hanya digunakan sebagai mulsar, pupuk, dan pengisi jalan setapak di antara perkebunan.
Sebenarnya banyak juga yang sudah menggunakan limbah kelapa sawit sebagai bahan daur ulang untuk menjadi bahan bakar yang bisa menghasilkan listrik.
Secara umum, limbah utama dari industri kelapa sawit terdiri dari 2 jenis yaitu limbah padat dan limbah cair. Sebenarnya proses ini juga menghasilkan emisi GRK berupa CO2 dan polutan udara lainnya, namun pengolahan lanjut dari limbah gas tidak dibahas dalam laporan ini.
Limbah cair industri kelapa sawit yang paling utama adalah POME atau Palm Oil Mill Effluent, sedangkan limbah padatnya terdiri dari tandan kosong, pelepah , batang dan serat mesocarp. Serat mesocarp dan tandan kosong merupakan limbah yang diperoleh ketika proses produksi berlanjut, sementara pelepah dihasilkan ketika dilakukan pemangkasan pelepah. Limbah batang sawit dihasilkan ketika proses replantasi, penggantian tanaman tua dengan tanaman yang lebih muda.
POME memiliki kandungan organik yang sangat tinggi, sehingga jika dibuang langsung ke lingkungan akan menimbulkan masalah pencemaran yang cukup berat serta emisi GRK. Namun jika emisi ini ditangkap dengan menggunakan teknologi fermentasi anaerobic, biogas yang ada bisa menggantikan fungsi LPG. Bahkan menurut perhitungan, 1 ton EFB/TBS bisa menghasilkan emisi sebanyak 23.25 kg CH4 yang jika dikonversikan sepenuhnya ke dalam LPG, maka akan ada sekitar 58 Rumah yang bisa menggunakan biogas tersebut setiap bulan. Jika kapasitas rata-rata Provinsi Riau yang ditunjukan pada Tabel 3 di atas sebanyak 6660 ton tbs/jam maka akan ada sekitar 12,386,000 unit rumah yang bisa dipenuhi kebutuhan LPG nya dengan menggunakan gas ini. Maka berdasarkan potensinya yang sedemikian besar, teknologi yang tepat jelas menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan.
Sebagian besar limbah cair kelapa sawit (POME) ini diolah dalam bentuk kolam pond. Namun setelah teknologi biogas sudah mulai diaplikasikan untuk POME, opsi pond ini mulai ditinggalkan karena dirasa tidak memiliki kinerja sebaik teknologi fermentasi anaerobic untuk menghasilkan biogas. selain karena masalah lahan, masalah kemampuan penurunan kandungan organic dan utilisasi methane juga menjadi pertimbangan. Biogas ini kini dirasa menjadi salah satu solusi yang bisa mengurangi beban penggunaan bahan bakar fosil dan juga mengurangi beban pencemaran lingkungan.
Limbah padat dan cair dari industry kelapa sawit memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Beberapa aplikasi teknologi sederhana sudah ada yang berhasil cukup baik, namun sebenarnya jika dilakukan upgrade teknologi, limbah-limbah tersebut bisa menghasilkan produk yang bernilai lebih tinggi lagi. Sebagai contoh, di beberapa industry, limbah POME yang ditreatment lebih dulu digunakan sebagai pupuk untuk perkebunan. POME ini jika dikonversi menjadi biogas maka nilai tambahnya akan lebih tinggi (seperti uraian sebelumnya). Contoh lainnya adalah tandan kosong yang selama ini hanya digunakan sebagai mulsa (material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik) dan juga pupuk akan meningkat nilainya jika diproses menjadi komposit, fiber untuk bahan bangunan, dan lain sebagainya.
Indonesia sebagai salah satu produsen sawit terbesar di dunia sudah selayaknya mengupayakan teknologi-teknologi yang bisa meningkatkan nilai tambah dari limbah-limbah ini, apalagi jika mempertimbangkan dampak positifnya untuk daya dukung lingkungan dan menurunkan beban pencemaran, pembangunan berkelanjutan, tetapi juga potensi untuk menghasilkan sumber energi terbarukan baik panas, listrik, maupun bahan bakar. Namun saat ini prestasi Indonesia bahkan masih dikatakan kalah jika dibandingkan dengan Malaysia yang lebih memiliki komitmen dalam kemajuan teknologi konversi limbah menjadi energi dan material bernilai tambah tinggi.
Selama ini banyak keterbatasan yang dihadapi Indonesia dalam mengolah limbah kelapa sawit, di antaranya adalah masih kurangnya pengetahuan dan dana investasi serta yang paling utama adalah komitmen dari pemegang sektor terkait untuk bisa menguasai dan mengimplementasi teknologi kemurgi ini. Hal ini mengakibatkan penggunaan limbah potensial ini baru sebatas pupuk, mulsa, dan bahan bakar untuk CHP atau kogenerasi. Teknologi biogas sendiri juga dapat dikatakan masih baru, dan butuh penelitian dan pengembangan yang cukup besar yang perlu didukung oleh stakeholder terkait (pemerintah, swasta, akademik, dll).
Limbah cair kelapa sawit asalnya dari suatu kondensat, stasiun klarifikasi serta hidrocyclone, nama lainnya adalah Palm Oil Mill Effluent (POME). POME sebenarnya adalah sisa buangan yang tidak beracun atau tidak toksik, akan tetapi daya pencemarannya sebelum treatment of pome cukup tinggi diakibatkan oleh kandungan bahan organiknya mempunyai nilai BOD 18.000 sampai 48.000 miligram/ liter. Pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai biogas yang telah didapatkan tersebut harus diolah dengan baik dan benar supaya palm oil mill effluent treatment system tidak memicu pencemaran lingkungan. Untuk meminimalisir resiko-resiko di atas, maka dirancanglah suatu tindakan pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai pakan ternak menggunakan sistem kolam yang setelahnya dapat juga dipakai untuk lahan.
Kali ini kami tidak membahas mengenai pengolahan limbah cair kelapa sawit menjadi biogas, melainkan pengolahan untuk limbah cair sistem kolam serta palm oil mill effluent treatment process dilakukan melalui beberapa langkah seperti di bawah ini:
– kolam pendinginan C, supaya proses pengolahan limbah cair kelapa
sawit mempunyai temperatur atau suhu 75 hingga 90°C.
– Kolam pengasaman. Pada tahap ini akan terjadi proses penurunan pH
serta pembentukan CO atau karbon dioksida. Proses ini dilakukan
selama hampir 30 hari lamanya.
– Kolam pembiakan bakteri. Di tahap ini terjadi proses pembiakan bakteri
yang fungsinya membentuk gas karbon dioksida, methana serta pH yang
meningkat. Proses mulai dari pembiakan bakteri sampai limbah siap
diaplikasikan membutuhkan waktu antara 30 hingga 40 hari lamanya.
Selanjutnya pengolahan limbah pabrik kelapa sawit dilanjutkan dengan mengalirkannya ke fat pit. Di dalam fat pit akan terjadi pemanasan menggunakan steam yang berasal dari BPV. Limbah ini lalu dialirkan menuju kolam cooling pond yang berfungsi mendinginkan limbah panas. Kemudian limbah akan dialirkan ke kolam anaerobic 1, 2, 3. Di kolam ini limbah mengalami perlakuan biologis menggunakan bakteri metagonik. Unsur organik limbah cair dipakai bakteri sebagai makanannya dalam proses pengubahan menjadi bahan biogas dari limbah cair kelapa sawit yang aman bagi lingkungan. Halini ditandai dengan penurunan angka BOD serta pH meningkat minimal 6. Tebal scum kolam anaerobic tidak boleh lebih dari 25 cm agar bakteri bekerja maksimal.
Pengolahan limbah kelapa sawit selanjutnya dimasukkan dalam maturity pond, fungsinya sebagai pematangan limbah. Di kolam ini tersedia pompa yang mensirkulasikan limbah kembali ke kolam anaerobic. Tahap selanjutnya cara pengolahan limbah kelapa sawit menjadi pupuk organik,
limbah masuk ke kolam aplikasi sebagai tempat pembuangan akhir. Limbah dalam tahap ini dipergunakan sebagai pupuk tanaman kelapa sawit.
Tersedia beberapa pilihan pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit setelah pembuatan biogas dari limbah cair kelapa sawit di kolam (IPAL) yaitu dibuang ke badan sungai maupun diterapkan pada tanaman kelapa sawit. Tentunya pembuangan limbah cair menuju badan sungai dapat dilakukan melalui syarat pemenuhan baku mutu yang sudah dipastikan melalui peraturan undang-undang.

Limbah padat di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang terdiri dari tandan kosong (empty fruit bunch/EFB atau TKS), cangkang (shell) dan serabut (fibre). Biomassa, biasanya mengandung dua komponen utama, yaitu; komponen yang dapat  terbakar (combustible) dan komponen yang tak dapat dibakar (uncombustible). Komponen dasar yang tak dapat terbakar adalah air (water) dan abu (ash). Sedangkan bahan yang dapat dibakar adalah gas dan karbon (charcoal). Perbedaan utama antara bahan bakar biomassa dengan batu bara adalah kandungan volatile matter yang tinggi dan kandungan abu yang rendah pada bahan bakar biomassa. Kandungan air pada bahan bakar biomassa bervariasi antara 10 – 70%. Ketersediaan bahan bakar biomassa paling banyak dihasilkan dari limbah hasil pengolahan pertanian atau perkebunan.

Pemanfaatan limbah biomassa sawit dalam bentuk pelet adalah salah satu solusi dalam meningkatkan nilai tambah dari biomassa tersebut. Telah banyak pabrik pelet biomassa sawit yang telah dikembangkan, dan hasil produksinya dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar berbentuk pelet atau arang.

            Proses peletisasi Tandan Kosong Sawit terdiri dari tiga proses utama, yaitu penyiapan dan penanganan bahan baktu secara efektif dan ekonomis, pembriketan (pemadatan) menghasilkan pelet, penanganan pasca-pelet. Tahapan penyiapan bahan baku melibatkan lima langkah, yaitu tahap double stage press, sieving, second stage shredding, drying and grinding. Tahapan ini menghasilkan pelet dengan ukuran yang diinginkan (<1 cm) dan penghilangan kandungan bahan lain dan menghasilkan pelet dengan kadar air <15%). Salah satu peralatan penting dalam proses tersebut adalah alat proses pengeringan yang membutuhkan energi luar yang beres. Untuk menanggulangi persoalan tersebut daihrapkan pabrik pengolahan limbah biomassa sawit menjadi pelet dapat dibangun tidak terlalu jauh dari lokasi Pabrik Kelapa Sawit Tanjong Seumantoh atau PKS Pulo Tiga.

            Tahapan selanjutnya adalah pembuatan pelet dengan spesifikasi akhir diharapkan memiliki kandungan abu yang rendah (<4%), pelet bentuk silinder dengan ukuran , 8 mm, 30 – 40 mm dan berat 2,3-2,7 g. Pelet biasanya dikemas dan dijual dengan kapasitas kemasan 800 kg.

            Berdasarkan asumsi bahwa permintaan dunia terhadap pelet biomassa sawit akan terus meningkat  selama 10 tahun ke depan yang mencapai 33 juta ton pertahun. Dimana saat ini disuplai oleh negara Eropa 76%, 15% dari Amerika utara,  9% dari Korea Selatan dan Jepang. Dengan ketersediaan bahan baku  dari PKS Tanjong Semantoh dan Pulo Tiga, maka pabrik pelet dirancang memiliki kapasitas produksi 6 ton pelet/hari atau 27.000 ton/tahun.

 




Limbah padat yang keluar dari PKS meliputi tandan kosong (tankos) dengan persentase sekitar 23% terhadap TBS, abu boiler (sekitar 0.5% terhadap TBS), serat (sekitar 13.5% terhadap TBS) dan cangkang (sekitar 5.5% terhadap TBS). Limbah padat yang keluar dari PKS umumnya tidak memerlukan penanganan yang rumit. Limbah padat dapat digunakan lagi sebagai bahan bakar, pupuk, pakan ternak, dan juga bisa dijual untuk menghasilkan pendapatan tambahan.
Serat, cangkang dan tankos bisa digunakan sebagai bahan bakar. Abu boiler dapat diaplikasikan langsung sebagai sumber pupuk kalium, tankos sebagai pupuk dengan cara menjadikan mulsa dan pengomposan. Ampas inti digunakan sebagai pakan ternak.
Terdapat dua sumber pencemaran gas yang keluar dari PKS yaitu boiler yang menggunakan serat dan cangkang sebagai bahan bakar dan juga incinerator yang membakar tankos untuk mendapatkan abu kalium. Pada saat ini incinerator sudah mulai ditinggalkan.
Limbah yang menjadi perhatian di PKS adalah limbah cair atau yang lebih dikenal dengan POME (palm oil mill effluent). POME ialah air buangan yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit utamanya berasal kondensat rebusan, air hidrosiklon, dan sludge separator. Setiap ton TBS yang diolah akan terbentuk sekitar 0,6 hingga 1 m3 POME. POME kaya akan karbon organik dengan nilai COD lebih 40 g/L dan kandungan nitrogen sekitar 0,2 dan 0,5 g/L sebagai nitrogen ammonia dan total nitrogen. Karakteristik POME ditunjukan pada tabel 1. Sumber POME berasal dari unit pengolahan yang berbeda, terdiri dari:
  • 60% dari total POME berasal dari stasiun klarifikasi
  • 36% dari total POME berasal dari stasiun rebusan
  • 4 % dari total POME berasal stasiun inti.

Teknologi Pengelolaan POME

Teknologi pengelolaan POME umumnya dengan menggunakan teknologi kolam terbuka yang terdiri dari kolam anaerobik, fakultatif dan aerobik dengan total waktu retensi sekitar 90-120 hari. Teknologi kolam terbuka ini memerlukan lahan yang luas (5-7 ha), biaya pemeliharaan yang cukup besar dan menghasilkan emisi gas metana ke udara bebas.
Saat ini pengelolaan POME dengan hanya menggunakan kolam terbuka mulai dianggap kurang efisien dan kurang ramah lingkungan. Para pemilik atau pengelolan PKS sudah mulai  merubah dengan memodifikasi kolam yang ada dengan teknologi pengelolaan lainnya. Ada beberapa teknologi pengolahan POME yang baru saat ini, diantara teknologi yang baru itu adalah membran dan terakhir terdengar dengan elektrokoagulasi. Munculnya atau adanya perkembangan teknologi pengelolaan POME ini disebabkan oleh beberapa maksud dan tujuan tertentu.
Beberapa tujuan itu adalah:
  • Mendapatkan teknologi yang lebih ramah lingkungan (environmental friendly). Teknologi ini umumnya adalah menghindari gas rumah kaca khususnya gas metana lepas ke atmosfer.
  • Mendapatkan nilai tambah secara ekonomi (economic benefit). Teknologi ini dilakukan dengan cara mendapatkan produk baru yang dapat dijual dengan memanfaatkan POME.
  • Memudahkan operasional pengelolaan, terutama kepada para pekerja di PKS.
  • Keterbatasan lahan di area PKS untuk menggunakan sistem kolam terbuka (limited area).
  • Faktor teknologi proses di PKS. Faktor ini adalah terkait dengan adanya modifikasi teknologi proses pada pengolahan TBS di PKS, atau adanya teknologi proses yang baru. Perbedaan proses itu terutama terkait dengan penggunaan alat proses yang baru. Contoh dalam faktor ini adalah perubahan teknologi sterilisasi, klarifikasi dan sebagainya. Perubahan alat proses membawa dampak pada perubahan kualitas, kuantitas dan jenis limbah yang dihasilkan di PKS.
6.Mendapatkan sumber energi.
Dari beberapa tujuan diatas, saat ini terdapat beberapa teknologi pengelolaan POME selain sistem kolam terbuka. Adapun teknologi itu diantaranya adalah:
  • Pengelolaan aerob dengan menggunakan kolam aerobic (aerobic pond). Teknologi ini digunakan untuk menghindari terbentuknya gas metan. Teknologi ini jarang digunakan karena memerlukan tenaga yang besar untuk menggerakkan aerator. 
  • Teknologi pengeringan (drying process), teknologi ini tidak sesuai karena memerlukan biaya dan energi yang besar untuk menguapkan air dalam POME.
  • Aplikasi tanah (land application), sistem ini tidak disarankan karena memerlukan biaya yang cukup besar. Selain itu teknologi ini masih memerlukan kolam tanpa udara dan masih menghasilkan gas metan.   
  • Penggunaan tandan kosong kelapa sawit menjadi kompos, POME digunakan sebagai bahan penyiram pada proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit seperti pada Gambar 3. Teknologi ini bagus untuk dilaksanakan. Teknologi ini memerlukan sedikit investasi yang tinggi tetapi mendapat keuntungan dengan hasil penjualan kompos.
  • Penggunaan POME untuk menghasilkan energi. Teknologi untuk menghasilkan energi adalah dengan cara menangkap gas metana. Teknologi penangkapan gas metana ada yang membangun tangki (biogas reactor) baru yang berada diatas permukaan (Gambar 4) atau dengan menutup kolam limbah yang ada dengan menggunakan penutup dengan bahan parasut tebal (covered lagoon).
Selain menghasilkan gas Metana sebagai energi, saat ini POME juga dilaporkan dapat menghasilkan gas Hidrogen sebagai energi. POME menghasilkan gas hidrogen dengan menggunakan teknologi elektrokoagulasi.